Beruntunglah kita
terlahir di bumi pertiwi yang walaupun berasal dari suku yang berbeda, tinggal
di pulau yang berbeda serta adat dan istiadat yang berbeda, namun kita memiliki
Bahasa Indonesia yang menyatukan kita semua. Penah gak melakukan uji analisa,
jika tiada Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, akan seperti apa kita
berkomunikasi dengan individu yang “berbeda”dengan kita? Orang-orang dari ujung
barat Indonesia bisa berkomunikasi dengan saudaranya di ujung timur negri
dengan bahasa Indonesia sebagai penyelamat dan penengah mereka. Bayangkan saja
jika para penduduk tidak bisa saling berkomunikasi, mempersatukan mereka bisa
jadi hal tersulit bagi kita semua.
Komunikasi Produktif |
Harusnya kita
semua menjadi yakin bahwa peranan bahasa Indonesia sangat penting sebagai
pemersatu. Salah satu contoh saya ambil perumpaan sebuah entitas, operasional sebuah perusahaan dengan banyak cabang
berskala nasional akan sangat kacau jika kita tidak memiliki bahasa Indonesia. Cabang
di Medan akan sulit memahami segala peraturan yang di tetapkan kantor pusa di
Jakarta, karyawan di Sangatta akan sulit memahami pembicaraan rekannya dari Palembang.
Dengan bahasa pengantar yang sama akan memudahkan komunikasi eksternal antar entitas
maupun pada para pelanggan mereka. Walau di ucapkan dengan dialek yang berbeda
namun bahasa Indonesia tetap hadir menjadi media komunikasi yang seragam dan
membuat semua orang saling memahami.
Saat masih
berkarya di ranah publik, saya selalu menerapkan standar bagi diri saya sendiri
saat memulai sebuah percakapan baik melalui media telepon atau saat bertatap muka
langsung dengan para pengguna jasa perusahaan tempat saya bernaung. Semacam sapaan
pembuka seperti : “Semangat pagi, dengan Puspa bagaimana dapat membantu?” sebuah
kalimat standar yang mungkin banyak berlaku di beberapa entitas serupa. Namun dengan
penggunaan standardisasi layanan dari segi bahasa ini menjadi salah satu usaha
untuk menjaga konsistensi serta meningkatkan kualitas layanan yang bisa diberikan untuk entitas tempat saya bekerja saat itu.
Saat mendapat
materi mengenai Komunikasi Produktif pertama kali ketika proses Kuliah Bunda
Sayang beberapa tahun yang lalu, ada kalimat yang cukup membekas untuk saya,
yaitu :
“Tantangan terbesar saat berkomunikasi adalah
mengubah pola komunikasi kita sendiri, karena mungkin kita tidak menyadari
bahwa cara kita berkomunikasi termasuk ke dalam golongan komunikasi tidak
produktif”
Hohohohooo...
karena tertampar kalimat di atas, saya pribadi sampai melakukan rekaman sebagai
bagian dari tes suara pada suara dan gaya bicara sendiri. Dan saat mendengarnya
kembali koq ya rasanya tuh kayak ada jengkel dan mangkel bin geli-geli gimana
gitu lah 😉
waakakakakkkkkakkk... aseli pingin nyentil jidat sendiri rasanya, dan
tersadar bahwa selama ini saat saya merasa intonasi bicara saya biasa-biasa
saja, tanpa penekanan emosi di dalamnya tapi terdengar layaknya orang jutek
sinis dan masuk jajaran pihak yang minta di cium (eh lha dalah 😊), berawal dari hal itulah saya mengagendakan satu
waktu dalam satu pekan saya untuk kembali mengasah ilmu public speaking saya,
ngobrol dan ngoceh sendiri di depan kaca sembari gawai on merekam apa saja yang
sedang saya ocehkan saat itu.
Berbekal banyak
literasi dan bersemedi pada beberapa guru kehidupan untuk melatih teknik
berkomunikasi saya belajar untuk melatih cara saya berkomunikasi, bertutur kata
dan berlaku pada orang lain dengan layanan yang prima agar apa yang saya
sampaikan dapat mengena dan menyentuh perasaan dan emosi lawan bicara saya. Ada
salah seorang mentor yang mengatakan bahwa menghasilkan komunikasi yang baik
adalah penting, namun tak kalah penting adalah bagaimana komunikasi tersebut
dapat meluaskan pandangan pada cakrawala yang lebih luas, agar tidak merugikan
pihak tertentu apalagi jika menyangkut orang banyak.
“Apa yang di sampaikan dari hati pasti akan kena
sampai di hati”
Adalah resume
yang di berikan Ayana saat saya menyodorkan materi mengenai Komunikasi Produktif
kepada beliau, dalam sessi “kencan” kami berdua, ada beberapa point yang
menjadi bahasan asyik, salah satunya adalah fasilitas yang mampu meningkatkan kemampuan
anak-anak untuk berbicara dan menyalurkan ekspresinya berdasar pada karakter
masing-masing anak. Kak Nad sang generating idea perlu di beri ruang sekaligus
patokan dan batasan untuk ia bisa menyalurkan ragam ide yang nyantol di fikirannya,
lain lagi untuk Adek Yeza sang Restorative dan Commander yang nyaman saat
bekerja dalam keteraturan dan pola yang menarik untuknya. Dan artinya apa
pemirsa? Adalah menjadi PR bagi si emak menjembatani komunikasi yang terjalin dari Ayana
dan menyalurkannya dalam bentuk ragam aktivitas bagi para duo jenderal.
Memaksa diri
untuk tetap berkomunikasi dengan produktif semacam salah satu usaha untuk
membentuk suatu budaya. Banyak teori mengatakan, pembentukan budaya berdasarkan
siklus berikut :
TINDAKAN Ã KEBIASAAN Ã KEBUDAYAAN
Semua hal yang
ingin dijadikan gaya hidup maka HARUS di mulai dengan tindakan, tindakan yang
disepakati bersama dan dilakukan berulang-ulang baik dalam keluarga maupun
masyarakat sehingga kemudian akan menjadi sebuah Kebiasaan. Kebiasaan secara
masif oleh semua anggota keluarga maupun setiap individu dalam jangka panjang
akan membentuk budaya di suatu rumah, tempat dan daerah. Budaya ini akan di
wariskan dari generasi ke generasi selanjutnya sehingga kemudian akan menjadi
ciri dari keluarga/masyarakat tersebut.
Jakarta Timur, 18 April 2019
Puspaning Dyah, catatan bunda pembelajar
#aliranrasakomunikasiproduktif
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang
0 komentar:
Posting Komentar