Kamis, 18 April 2019

Bahasa Indonesia Resep Mujarab Memulai Komunikasi Produktif

Beruntunglah kita terlahir di bumi pertiwi yang walaupun berasal dari suku yang berbeda, tinggal di pulau yang berbeda serta adat dan istiadat yang berbeda, namun kita memiliki Bahasa Indonesia yang menyatukan kita semua. Penah gak melakukan uji analisa, jika tiada Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, akan seperti apa kita berkomunikasi dengan individu yang “berbeda”dengan kita? Orang-orang dari ujung barat Indonesia bisa berkomunikasi dengan saudaranya di ujung timur negri dengan bahasa Indonesia sebagai penyelamat dan penengah mereka. Bayangkan saja jika para penduduk tidak bisa saling berkomunikasi, mempersatukan mereka bisa jadi hal tersulit bagi kita semua.
Komunikasi Produktif


Harusnya kita semua menjadi yakin bahwa peranan bahasa Indonesia sangat penting sebagai pemersatu. Salah satu contoh saya ambil perumpaan sebuah entitas, operasional sebuah perusahaan dengan banyak cabang berskala nasional akan sangat kacau jika kita tidak memiliki bahasa Indonesia. Cabang di Medan akan sulit memahami segala peraturan yang di tetapkan kantor pusa di Jakarta, karyawan di Sangatta akan sulit memahami pembicaraan rekannya dari Palembang. Dengan bahasa pengantar yang sama akan memudahkan komunikasi eksternal antar entitas maupun pada para pelanggan mereka. Walau di ucapkan dengan dialek yang berbeda namun bahasa Indonesia tetap hadir menjadi media komunikasi yang seragam dan membuat semua orang saling memahami.
Saat masih berkarya di ranah publik, saya selalu menerapkan standar bagi diri saya sendiri saat memulai sebuah percakapan baik melalui media telepon atau saat bertatap muka langsung dengan para pengguna jasa perusahaan tempat saya bernaung. Semacam sapaan pembuka seperti : “Semangat pagi, dengan Puspa bagaimana dapat membantu?” sebuah kalimat standar yang mungkin banyak berlaku di beberapa entitas serupa. Namun dengan penggunaan standardisasi layanan dari segi bahasa ini menjadi salah satu usaha untuk menjaga konsistensi serta meningkatkan kualitas layanan yang bisa diberikan untuk entitas tempat saya bekerja saat itu.
Saat mendapat materi mengenai Komunikasi Produktif pertama kali ketika proses Kuliah Bunda Sayang beberapa tahun yang lalu, ada kalimat yang cukup membekas untuk saya, yaitu :
“Tantangan terbesar saat berkomunikasi adalah mengubah pola komunikasi kita sendiri, karena mungkin kita tidak menyadari bahwa cara kita berkomunikasi termasuk ke dalam golongan komunikasi tidak produktif”
Hohohohooo... karena tertampar kalimat di atas, saya pribadi sampai melakukan rekaman sebagai bagian dari tes suara pada suara dan gaya bicara sendiri. Dan saat mendengarnya kembali koq ya rasanya tuh kayak ada jengkel dan mangkel bin geli-geli gimana gitu lah 😉  waakakakakkkkkakkk... aseli pingin nyentil jidat sendiri rasanya, dan tersadar bahwa selama ini saat saya merasa intonasi bicara saya biasa-biasa saja, tanpa penekanan emosi di dalamnya tapi terdengar layaknya orang jutek sinis dan masuk jajaran pihak yang minta di cium (eh lha dalah 😊), berawal dari hal itulah saya mengagendakan satu waktu dalam satu pekan saya untuk kembali mengasah ilmu public speaking saya, ngobrol dan ngoceh sendiri di depan kaca sembari gawai on merekam apa saja yang sedang saya ocehkan saat itu.
Berbekal banyak literasi dan bersemedi pada beberapa guru kehidupan untuk melatih teknik berkomunikasi saya belajar untuk melatih cara saya berkomunikasi, bertutur kata dan berlaku pada orang lain dengan layanan yang prima agar apa yang saya sampaikan dapat mengena dan menyentuh perasaan dan emosi lawan bicara saya. Ada salah seorang mentor yang mengatakan bahwa menghasilkan komunikasi yang baik adalah penting, namun tak kalah penting adalah bagaimana komunikasi tersebut dapat meluaskan pandangan pada cakrawala yang lebih luas, agar tidak merugikan pihak tertentu apalagi jika menyangkut orang banyak.

“Apa yang di sampaikan dari hati pasti akan kena sampai di hati”

Adalah resume yang di berikan Ayana saat saya menyodorkan materi mengenai Komunikasi Produktif kepada beliau, dalam sessi “kencan” kami berdua, ada beberapa point yang menjadi bahasan asyik, salah satunya adalah fasilitas yang mampu meningkatkan kemampuan anak-anak untuk berbicara dan menyalurkan ekspresinya berdasar pada karakter masing-masing anak. Kak Nad sang generating idea perlu di beri ruang sekaligus patokan dan batasan untuk ia bisa menyalurkan ragam ide yang nyantol di fikirannya, lain lagi untuk Adek Yeza sang Restorative dan Commander yang nyaman saat bekerja dalam keteraturan dan pola yang menarik untuknya. Dan artinya apa pemirsa? Adalah menjadi PR bagi si emak menjembatani komunikasi yang terjalin dari Ayana dan menyalurkannya dalam bentuk ragam aktivitas bagi para duo jenderal.


Memaksa diri untuk tetap berkomunikasi dengan produktif semacam salah satu usaha untuk membentuk suatu budaya. Banyak teori mengatakan, pembentukan budaya berdasarkan siklus berikut :
TINDAKAN à  KEBIASAAN à KEBUDAYAAN
Semua hal yang ingin dijadikan gaya hidup maka HARUS di mulai dengan tindakan, tindakan yang disepakati bersama dan dilakukan berulang-ulang baik dalam keluarga maupun masyarakat sehingga kemudian akan menjadi sebuah Kebiasaan. Kebiasaan secara masif oleh semua anggota keluarga maupun setiap individu dalam jangka panjang akan membentuk budaya di suatu rumah, tempat dan daerah. Budaya ini akan di wariskan dari generasi ke generasi selanjutnya sehingga kemudian akan menjadi ciri dari keluarga/masyarakat tersebut.

Jakarta Timur, 18 April 2019
Puspaning Dyah, catatan bunda pembelajar

#aliranrasakomunikasiproduktif
#gamelevel1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbundasayang

0 komentar:

Posting Komentar