Senin, 17 Juni 2019

Belajar dari sang Guru Kehidupan



Baginda nabi Muhammad SAW pernah berkata:
"Kenapa kita harus jadi pengusaha? Karena 9 dari 10 pintu rezeki berasal dari dunia perdagangan"

Islam mengajarkan untuk selalu menjadi pekerja keras dan melarang umatnya bergantung hidup pada orang lain. Bukankah rahmat Allah SWT terbentang begitu luas? Hasil bumi, hasil alam serta berbagai sektor lain tersedia, bisa di kerjakan oleh manusia untuk kemudian di olah dan di manfaatkan menjadi rezeki

Dan karena Allah SWT akan senang manakala melihat hambaNya bersungguh-sungguh dalam mencari dan memanfaatkan rizki yang telah di peroleh.

Kak Nad yang tengah memilih sayuran


Atas dasar itulah petuangan Duo Jenderal hari ini di mulai dengan menjelajah pasar tradisional, salah satu tempat kunjungan favorit si emak sebagai bab permulaan project BURAS MASAMBA kami untuk mempraktikkan berbagai teknik dan cara memasak 😀🤣
Terlebih masih dalam suasana bulan syawal hingga tak ada salahnya mengajak duo jenderal turut serta bersilaturahim dengan para Guru Kehidupan sembari mengisi logistik kami hingga beberapa hari ke depan.

Salah seorang Guru Kehidupan yang kami jumpai hari ini

Dengan bagun pagi dan menyelesaikan segala standar pagi, kami bertiga (emak dan duo jenderal) berangkat menuju salah satu pasar tradisional yang letaknya tak seberapa jauh dari kantor ayana (sekalian nganterin barang pesanan ayana sih sebenernya 🤣)

Interaksi Kak Nad bersama bude penjual tahu 

Banyak interaksi yang di lakukan oleh duo jenderal, mereka melihat langsung proses transaksi dengan sistim tawar menawar yang tak kan di jumpai di supermarket atau pasar swalayan modern, menjumpai pasar dengan segala atributnya (kios/lapak dagangan, bank pasar, TPS alias Tempat Pembuangan Sampah sementara, dll), mengenal berbagai profesi (tukang parkir, tukang panggul, tukang jagal, tukang kebersihan, sales/marketing produk, dll), mengidentifikasi plot lapak dagangan (mana bagian lapak sayur, daging, ikan, buah dan aneka cemilan/snack)

Kak Nad memilih kacang dan bumbu dapur


Di kesempatan kali ini Kak Nad mempraktikkan ilmu public speaking dan berhitung melalui proses transaksi yang berlangsung, bertanya berapa harga barang yang di butuhkan, menghitung uang dan kembalian saat proses pembayaran serta tak lupa mengucapkan terima kasih saat segala urusan telah selesai. Dalam proses ini membangkitkan Intelectual Curiosity dan banyak pertanyaan di benaknya, tentang kenapa kita sebaiknya gak menawar dagangan, lalu kenapa lapaknya gak teratur dan tercampur hingga gak keliatan rapi, bukannya limbah-limbah masih bisa di manfaatkan? Kenapa harus berakhir di tempat sampah semua? (Limbah parutan kelapa, kulit bawang dan sayuran lainnya, sampah organik dan non organik yang saling bercampur, dan banyak pertanyaan lainnya yang mewarnai perjalanan kembali kami dari pasar), dan tentu saja pertanyaan pamungkas (gimana ya biar  doi bisa njualin produk-produknya di pasar🤣)

Mengamati proses pengupasan kelapa

Aapkah project ini selesai hanya sampai di sini? Oo tentu tidak, bukankah masih ada rentetan tugas yang menyertainya? Seperti memilah kembali sayuran mana yang perlu masuk lemari pendingin? Bagaimana menata di dalam lemari pendingin agar memudahkan saat memasak sesuai dengan jutlak menu yang telah di buat untuk satu pekan ke depan? Bagaimana perlakuan kita terhadap limbah yang di hasilkan baik itu sampah organik maupun sampah non organik dan tak lupa di tutup dengan memasak bersama untuk sajian santap siang hari ini. Akhirnya paket pecel dan tahu tempe bacem menjadi pemanja lidah kami siang ini, sebagai Rizki yang telah di titipkan pada kami untuk di manfaatkan menjadi energi dalam berbuat kebaikan dan beribadah dalam balutan iman dan takwa pada Sang Pencipta ☺

Oopzh jangan berharap terlalu tinggi mereka akan tumbuh paripurna dengan 8 Multiple Intelligence jika stimulus tak pernah di tawarkan pada mereka. Maka yuuuk mari kita sederhanakan konsep, sesederhana mereka dalam menyikapi hidup dan kehidupan.

Dengan modal stimulus sederhana dan interaksi dengan banyak karakter seperti ini saja sudah menjadi perjalanan yang menyenangkan untuk anak-anak, daya kritis dan kemampuannya berempati pada sesama akan terangsang dan terasah dengan cara yang natural.


Teringat kembali pesan gurunda perihal adab sebelum ilmu, bahwa dahulukanlah Adab sebelum Ilmu. Saya tidak mampu membayangkan mereka akan tumbuh menjadi generasi cerdas namun miskin akhlak, sekedar karena di picu sisi-sisi humanis yang kurang "disentil".

Bukankah adab hanya bisa di tularkan dan bukan di ajarkan? Maka mulailah tularkan kebiasan-kebiasaan baik pada calon pemimpin masa depan ini sedini mungkin.


Mari bersama menjadi barisan Ibu beradab agar mereka tak tumbuh menjadi generasi tuna adab.





Bandar Lampung, 17 Juni 2019
Puspaning Dyah, seorang Ibu yang tertatih belajar menjadi Ibu beradab

0 komentar:

Posting Komentar