Jumat, 21 Juli 2017

Sore yang sempurna bersama sesuap Barongko

Alhamdulillah tugas emak hari ini bisa terlalui dengan baik, lancar, kenyang, hati girang walau sedikit melelahkan (maklum emak sudah mulai masuk usia beranjak tua 😂😂😂)


Beberapa tugas dapat terlalui dengan baik karna anak-anak yang bersikap manis, tak menangis saat emak mengais rezeki (haish emak mulai kumat lebaynya, mohon di maklumi ya pemirsah sekalian)



Kenapa kali ini emak menulis tentang Barongko, yes karena emak tengah ingin bernostalgia pada satu panganan yang bisa jadi favorit emak saat mama masih ada, beliau gemar sekali memasakkan saya aneka panganan khas pulau K tempat beliau di lahirkan (yang sayangnya ilmu memasak beliau tidak di wariskan seutuhnya pada saya😂)

Seorang kawan membawakan makanan ini untuk di santap bersama, dan saya mengizinkan diri sendiri untuk membawa pulang, selain sebagai alat memperkenalkan makanan daerah pada kak nad yang sekarang lagi getol belajar soal rempah khas nusantara (apa coba hububgannya???) plus agar saya bisa menikmati dengan santai setiap suap dari barongko sembari membayangkan lezatnya barongko buatan mama.

Beberapa literasi yang saya pelajari menuliskan filosofi yang cukup dalam dari terciptanya Barongko, semoga saya tidak salah mengingat dan menerjemahkannya 😁

Barongko, sebagai cemilan khas Makassar, terbuat dari campuran pisang, berbalut santan, telur, gula, garam di bungkus dengan daun pisang, emak jadi terngingang rekam jejam emak hari ini. Dimulai dari Halal bi Halal bersama rekans Iwaba, di lanjut Halal bi Halal bersama rekans PIPEBI dengan mendengarkan siraman rohani dari Umi Neny Suswanti, emak seakan menemukan sebuah benang merah di antara ketiganya. Tali penghubung antara Barongko, Halal bi Halal, persaudaraan, sahabat, dan kepedulian.

Umi Neny memberikan petuah kehidupan


Barongko yang di bungkus dengan daun pisang di umpamakan sebagai diri kita dan pertemanan, di tutup dengan rapi, agar terlihat manis hingga nikmat untuk di santap bersama sahabat maupun orang terkasih. Demikian itulah sejatinya persahabatan, di bungkus dengan manis, agar rahasia pertemanan hanya tersimpan tanpa perlu di umbar kepada yang lain, isi hati kita cukup di mengerti oleh kawan karib.

Ada sebuah istilah orang Makassar yang mungkin selalu terngiang di benak saya, yaitu "Taro ada Taro Gau" (hihihihi beruntungnya saya yang mendapat warisan sedikit budaya dan semangat juang orang Bugis dan Mandar 😁), kurang lebih artinya adalah Apa yang tampak di luar harus sama dengan apa yang tampak di dalam begitu pula sebaliknya. Lihatlah sebuah Barongko, kecantikan, kesederhanaan, dan keluguan tercemin dari sana, Barongko yang dibungkus oleh daun pisang berisi pisang pula di dalamnya, sama di luar sama pula di dalam.

Nah ada satu lagi pesan baik yang saya tangkap dari Tausyiah Umi Neni sore ini, mengenai Silaturahim yang menumbuhkan kepedulian, saya jadi teringan tulisan saya beberapa waktu yang lalu bahwa berbagilah dengan hal-hal sederhana, dengan apa yang kita punya, tanpa perlu mengada-ada untuk menjadikannya sesuatu yang berbeda, berbagilah meskipun kita tak memiliki apa-apa, karena sejatinya kita bisa berbagi kasih sayang, perhatian, cinta kasih atau bahkan sekedar senyuman tulus dan doa untuk saudara kita.

All Iwaba dan adik-adik penerima bantuan


Sore ini saya pulang dengan membawa sejuta rasa syukur, atas segala nikmat yang luar biasa tak terhingga, yang gusti Allah telah berikan untuk saya pribadi dan keluarga, betapa Allah selalu mengirimkan sahabat-sahabat terbaik, yang selalu kembali mengingatkan saya pada kebaikan, menuntun kami untuk terus melakukan lebih banyak hal baik, dan tak putus menebar kebaikan dengan segala apa yang kami miliki.






Bandar Lampung, 21 Juli 2017
Puspaning Dyah, saat menulis sebagai ungkapan syukur


0 komentar:

Posting Komentar