Rabu, 12 Juli 2017

Mengurai sebaris makna dari sepiring pecel

Setelah rintik hujan yang mewarnai pagi saya hari ini, yang selalu saja menyeruakkan rasa rindu dan candu pada aroma tanah yang tengah memadu kasih bersama tetesan hujan di pekarangan belakang rumah kami.

Sedikit bernostalgia pada tanah jawa tempat beta di lahirkan, ingin rasanya menikmati sepiring pecel makanan tradisional yang selalu indah untuk di pandang dan di nikmati.

Siang ini saya bersama seorang kawan mencoba sebuah nasi pecel yang menurut beliau sih recommended untuk di coba, bau kencur (dalam makna sebenarnya lho ya😃) yang kuat dengan semburat rasa manis, asin dan pedas yang balance bersatu menciptakan harmoni sebagai pelengkap siang hari ini di tengah serentetan tugas yang harus saya selesaikan.

Buat saya sepiring pecel bisa bermakna filosofis yang cukup dalam. Sebutir kacang tanah yang di tanam dari perawatan hingga proses panen dan siap di olah. Kacang yang tumbuh merumpun di dalam tanah, kami artikan sebagai manusia yang terlahir dari tanah, tumbuh dan besar karena perawatan dan kasih sayang keluarga, jika suatu saat "masa panen" tiba akan lahir sebagai generasi yang bermanfaat bagi sekitarnya, siap di olah menjadi sesuatu yang lebih berkualitas.

Bumbu yang bersatu di geprek menjadi rata, seperti manusia yang kemudian berbaur dengan yang lainnya di geprek dengan pengalaman, rasa sakit hati, sedikit kecewa namun tak jarang ada bahagia. Rasa yang berbeda berbaur menciptakan harmoni dalam sekali ulek bumbu pecel, ada gula jawa yang manis, asam yang terasa kecut, kencur dengan bau khasnya, berkolaborasi menjadi satu. Sederhana namun mampu memberi arti.

Sunatullahnya sebuah kehidupan tak pernah ada rasa nyaman selamanya, terkadang kita perlu di benturkan pada banyak keadaan yang bertentangan dengan nurani, pada beberapa orang yang hanya menilai kulit luar, atau beberapa pihak yang hanya mau mengambil informasi sebagian hingga menyebabkan ke-tidakadilan bagi yang lainnya.

Setiap orang sah-sah saja menambahkan bahan di dalam bumbu pecel sesuai seleranya, tapi tak boleh ada paksaan atau tekanan karena setiap orang memiliki seleranya masing-masing. Seperti kita yang tak bisa memaksa orang lain menjadi seperti apa yang kita mau, yach misalnya ada segelitir oknum yang menggunakan "power"nya memasukkan idealisme yang bisa jadi bertabrakan dengan situasi setempat ya monggo-monggo aja sih, karena pepatah "siapa menabur, ia yang kan menuai" sepertinya masih relevan koq di era "keblinger" macam saat ini 😂

Ayana selalu berkata pada saya, hiduplah secara sederhana, itulah yang akan membuat hati kita lebih ikhlas memaknai sesuatu.
Seperti sebuah pecel, berangkat dari kesederhanaan ia mampu membawa cita rasa sebuah kebanggaan 😃


0 komentar:

Posting Komentar